Cernak: Wedang Ronde Pak Sregep
“Aku suka hujan,” kata Sabar. Satria terkejut mendengarnya. Ditatapnya Sabar dengan pandangan heran. Hari ini, hujan kembali datang. Waktu istirahat di sekolah menjadi sedikit berbeda. Kelas yang biasanya hampir kosong ketika istirahat tiba, sekarang masih ramai.
Anak-anak kelas empat SD Bintang memilih bermain di kelas. Di tengah
keramaian itu, Satria membuka bekal yang dibawa dari rumah. Tadi, sambil
menikmati jajanan buatan sang bunda, ia mengeluh betapa tidak enaknya ketika
hujan datang. Baju basah, udara dingin, dan ia hanya bisa bermain di dalam
kelas atau di dalam rumah.
Teman sebangku Satria, si Sabar, hanya mendengar keluhannya. Tetapi
begitu berkomentar, ketua kelas empat itu heran. Sabar suka hujan?
Sang teman mengangguk, seakan tahu apa yang dipikirkan Satria.
Anggukannya mantap diiringi sepotong demi sepotong pisang goreng yang masuk ke
dalam mulut.
“Kalau hujan datang, Bapak selalu tambah pelanggan. Semakin banyak yang
membeli wedang ronde Bapak,” jelas
Sabar lancar. Setelah menelan potongan terakhir pisang gorengnya, anak kurus
itu meminum wedang ronde yang dibawa.
“Alhamdulillah .. enak,” ucap Sabar. Ia mendecakkan bibir, puas.
Tatapan mata Satria menyiratkan pandangan tidak percaya. Sang teman
menyodorkan botol minum wedang
rondenya.
“Coba minum wedang ronde
buatan Bapak. Badan jadi hangat,” tawar Sabar sambil menunjuk sisi botol di
mana Satria harus minum. Pesan Sabar, sisi itu harus berbeda dengan sisi tempat
ia meminum wedang kesukaannya.
Sang ketua kelas menurut. Ia meminum wedang itu. Ajaib, tidak berapa
lama setelah meminumnya, ada rasa hangat terasa di perut. Senyum menghiasi
bibir sang ketua.
“Enak, kan?” tanya Sabar. Tanpa menunggu jawaban, teman dekat Satria itu
mengarahkan pandang keluar jendela kelas.
“Aku ingin membantu Bapak bekerja, tetapi …” Sabar menatap kaki dan
lengannya yang kurus. “Bapak bilang, belum saatnya. Tugasku sekarang, belajar
rajin dan menguatkan otot-ototku,” jelas anak sepuluh tahun itu sambil menepuk
paha dan lengannya.
Satria menatap sang teman haru. Ia seperti diingatkan bahwa bapak dari
Sabar, Pak Sregep, adalah penjual wedang
ronde keliling.
Berasal dari keluarga sederhana, si anak tumbuh menjadi pribadi yang
rajin belajar. Ia tidak terlalu pandai, tetapi selalu masuk rangking lima
besar. Sabar seorang pekerja keras.
Satria tidak heran, ia meniru sang bapak.
“Kata Bapak, kalau sudah ada kios wedang
ronde, aku boleh membantu,” lanjut Sabar. Matanya berbinar.
“Rupanya ia suka ide mempunyai kios sendiri,” batin Satria. Ia ingat,
Sabar pernah bercerita bagaimana sedihnya melihat sang bapak, sendirian
menerobos malam sambil mendorong gerobak ronde.
Teman sebangku Satria itu ingin menemani, terutama ketika bapaknya
hanya mendapat sedikit pembeli.
Hening menyusul. Sabar masih melihat hujan di luar. Satria tiba-tiba
mendapat ide. Ia merangkul pundak sang teman dan berbicara serius.
*****
Beberapa hari kemudian, rintik hujan masih menghiasi malam-malam di
kota Yogya
.
Seorang lelaki tiga puluh tahunan menghampiri rumah Satria. Ia membawa
baki berisi tiga mangkuk wedang
ronde. Berbalut jas hujan dan berpayung, Satria sekeluarga menyambut
kedatangannya dengan gembira.
“Kita pesta wedang ronde,
Yah?” tanya Satria memastikan. Ayahnya tertawa kecil. Beliau kemudian menjabat
tangan lelaki yang tiada lain adalah Pak Sregep, bapak dari Sabar.
Satria banyak bercerita kepada Bunda dan Ayah tentang Sabar dan keluarganya.
Malam itu, Ayah meminta Pak Sregep menemani mereka mengobrol sambil
minum wedang ronde.
“Satria tambah, ya, Yah?” pinta Satria. Ayah mengangguk setuju. Tidak
lama kemudian, Ayah Bunda pun memesan tambahan satu mangkuk wedang ronde lagi.
“Wah, benar-benar pesta wedang
ronde,” komentar Satria sambil mengelus perutnya yang terasa hangat. Semua
tersenyum melihat tingkahnya.
Setelah semua menghabiskan wedang
rondenya, Pak Sregep pamit. Ayah Satria mengantar Pak Sregep ke gerobak
dorongnya.
“Pak Sregep, nyuwun sewu.
Kalau setiap Jumat malam mampir ke sini, saged
tha, nggih?” tanya Ayah. Pak Sregep menjawab insya Alloh sambil mengangguk-angguk. Tangannya menjabat tangan
Ayah erat. Binar matanya memancarkan rasa gembira.
Diiringi tatapan mata Satria sekeluarga, Pak Sregep meneruskan langkah,
mendorong gerobak wedang ronde. Semua
demi sebuah cinta dan cita. Pak Sregep, salah satu pejuang keluarga.
*****
Sumber foto: Pixabay
Komentar
Posting Komentar