Cerpen: B R I N D I L
Hari ini masih seperti kemarin, rasanya kurang atau bahkan tidak semangat. Homestay yang mestinya sudah butuh disapu, dipel kubiarkan berbedak tipisnya debu. Homestay dua lantai yang kutunggu semakin sepi setelah pandemi.
Tenggorokan terasa kering. Susah menelan dan hanya lega dengan segala sesuatu yang hangat semacam bubur atau air hangat. Ah, seperti Mbah Kakung juga Mbah Putri, para pensiunan di tempat asalku saja aku kini. Maunya yang hangat dan lembut saja. Semoga ini bukan karena covid-19 yang cantik berbentuk mahkota itu.
Dua tiga hari anak remaja yang butuh kuota, HP atau sekedar konsultasi PR datang ke homestay. Mereka datang memakai masker dan cuci tangan.
Setiba di homestay, masker mereka plorot. Ludah bebas berhamburan. Meski sudah diminta membawa perlengkapan pribadi seperti mukena, alat makan minum sendiri, namanya bocah, anak baru gede, masih suka seenaknya dhewe.
Aku yang harus tetap pakai masker atau face shield. Dan sekarang, semoga aku hanya dehidrasi, kurang minum saja.
Badan yang sedikit hangat membuatku memilih membaringkan tubuh sambil mendengar musik, hasil download pengajian Mbah Nun, ceramah Merry Riana atau Ippho Right Santoso. Segala hal yang kurasa mampu tenangkan dan gembirakan hati.
Namun ... sekilas senyum almarhum tetanggaku yang kapan itu ada dalam mimpi sedikit usik hati. Ia meninggal sendirian di rumahnya yang habis direnovasi, menjelma bagus dengan tipe minimalis. Setelah beberapa jam dari saat kematian, jenazahnya baru ditemukan.
Duh Gusti, apakah kematian seperti itu yang kan ku dapati? Nurani segera berkata tidak, jangan, jangan.
Hutang, hutanglah yang setidaknya masih gayuti diri tuk tidak ucapkan doa itu.
"Ya, Allah kalau hidup ini baik bagiku dan agamaku maka kuatkanku. Tetapi bila kematian adalah lebih baik bagiku dan agamaku, maka panggillah aku kembali pada-Mu." Itulah kurang lebih doa orang 'putus asa' yang diajarkan Nabi saw.
Aku masih berpikir ulang untuk mendoa seperti itu bila teringat masih adanya daftar hutang yang mesti kulunasi. Kecuali aku mau repot-repot datang di salah satu mimpi sanak keluarga, minta dengan sangat agar mereka berkenan melunasi hutang yang masih ada nanti setelah aku mati.
Aduh, memikirkannya saja sudah malu. Bagaimana dengan wasiat? Semakin malu aku. Menulis wasiat hanya berisi daftar hutang. Naudzubillah, tsumma naudzubillah.
Jadi … aku terkantuk-kantuk dalam buaian suara HP. Kutelan ludah susah payah sembari coba pejamkan mata. Berharap setelah rehat beberapa saat, badan kembali pulih seperti semula.
Dalam timbul tenggelamnya kesadaran yang kupunya, aku seperti melihat almarhum bapak. Beliau tersenyum manis seperti biasa. Tak ada kata yang terucap. Huruf, kata dan kalimat seperti tersampaikan melalui tatap mata kami.
"Bapak telah memaafkanmu. Sekarang saatnya memaafkan dirimu sendiri." Kepala bapak mengangguk pelan. "mulailah awal dan hidup baru. Lupakan semua sakit masa lalu." Kembali senyum manis terukir di wajah sabar itu. Ada yang menetes di pipi.
Perlahan sosok bapak menghilang berganti dengan penampakan badan tinggi besar, gagah, berkulit kuning terang dan ayu. Mbah Buk, ibu dari ibu, perempuan sepuh yang pernah mengasuhku, mengenalkanku akan kegemaran belajar agama. Mbah Buk-lah yang pertama mengajakku ikut pengajian ibu-ibu. Dan hanya aku anak kecil yang hadir di pengajian bersama simbah.
"Kowe ki piye ta, Dil, Brindil. Ayo, sing semangat urip. Mumpung isih diparingi wektu karo Gusti. Ojo ngisin-ngisini Simbah. Mosok kalah karo Simbah (Kamu itu bagaimana ta, Dil, Brindil. Ayo, yang semangat hidup. Mumpung masih dikasih waktu sama Gusti. Jangan malu-maluin Simbah. Masak kalah sama Simbah)."
Pipiku semakin basah meski terselip geli di hati. Simbah, janda empat piatu yang pantang menyerah besarkan keempat putrinya. Mbah Buk yang selalu bangun sebelum Subuh, rajin shalat dan lama nian shalatnya meski cara shalatnya sebisa beliau, sekena beliau. Mendoakan anak cucu, begitu Simbah menjawab saat ditanya perihal shalatnya yang lama.
Simbah yang berani merantau saat remaja, dari Bayuran Bantul ke Yogya. Perempuan buta huruf yang ingatannya lebih tajam dari ibu yang mahasiswi ekonomi UGM. Simbah yang memanggilku Brindil karena waktu kecil rambutku keriting, brindil dalam bahasa Jawa.
Ah, Simbah. Aku melihat Simbah berkacak pinggang dengan susur –sirih dan injet– di bibir beliau. Kuusap pipi yang membasah. Azan Zuhur terdengar. Masih terbayang senyum bapak dan wajah gregetan Mbah Buk. Kembali kuusap pipi. Semua hanya mimpi?
Foto oleh Pixabay: https://www.pexels.com/id-id/foto/siluet-penangkap-mimpi-gantung-279467/
Komentar
Posting Komentar