Cerpen: Pertemuan Dhuha

"Apakah karena sudah wafat, Bapak lebih banyak tahu dan paham hidup sekarang?" Aku bertanya sembari memandang riak air di kolam. 

Saat masalah hidup datang bertubi, rindu datang dan sosok itu pun menemuiku, anak kesayangan yang durhaka sembari membagi secercah harapan, penghapus kerinduan dan obat bagi penyesalan.

 

"Setidaknya aku sudah lebih berpengalaman darimu, Nak.” Lelaki tujuh puluh tahunan lebih itu memandangku. Tatapannya seolah menunjukkan bahwa ia sudah lelah dengan segala ngeyel-ku. 


Meski pasti ia sudah sering bertemu dengan banyak murid sepertiku di sekolah yang diasuhnya dulu, bertahun silam. Satu sekolah menengah  atas swasta yang terkenal dengan kebandelan siswanya.

 

"Allah memaksa kita hidup, Bapak. Dengan pemberian yang berbeda-beda dan segala  aturan-Nya. Aku ... aku merasa sedang tidak suka dengan semua itu sekarang. "

 

"Hapus prasangka, semua prasangkamu pada-Nya, Nduk. Prasangka karena kebodohan, kebelumtahuan dan kebelumpahamanmu." Bapak kembali melontarkan joran. 


Entah kapan ikan akan terpancing umpan cacingnya. Sudah lama kolam ini tidak terurus, dibiarkan begitu saja.  

 

"Siapa kamu dibanding Dia yang serba Maha. Kamu emosi, ta? Karena tidak mendapat apa yang kamu inginkan dan kamu suka. Terpaksa mengikuti pemberian dan aturan-Nya yang pasti lebih bijak dan baik.” Jeda sesaat. 


“Kamu belum tahu dan paham saja, Nduk. Siapa kamu dengan ilmu sak uprit-mu dibanding Ia dengan segala keluasan pengetahuan, ilmu dan kepandaian, kebijaksanaan-Nya." Sepasang mata sepuh itu melirikku, sekarang terlihat benar-benar lelah.

 

"Belajar berdamai dengan dirimu, itu usaha bagus. Teruskan. Bapak sudah bilang. Di dunia ini, ada yang kamu harus terima tanpa bisa protes, dan ada hal-hal yang bisa kamu usahakan, kamu ubah sebatas Ia ijinkan. Gitu saja kok repot." 


Aku mengeratkan sedekap. Bapak pasti tahu betapa aku masih berjuang untuk berdamai dengan diri sendiri, keadaan yang harus kuhadapi.

 

"Fokuslah pada apa yang bisa kamu usahakan, yang bisa dilakukan. Sudah, ikhlaskan saja semua hal di luar kendalimu. Kapan terakhir kali kamu baca buku, ha?" Lelaki itu bersungut, terlihat tidak puas.

 

"Bapak tidak bisa menyalahkanku. Tidak nyaman membaca buku dengan laptop. Setidaknya aku menyelesaikan Harry Porter dua kali, ketujuh serialnya. Itu rekor mengingat halamannya yang berjumlah ratusan lembar setiap serinya." 


Aku membela diri. Kulempar sebutir dua butir kerikil ke dalam kolam. "Hai, ikan, keluarlah," bisikku sembari berdoa kemunculan ikan akan mengalihkan perhatian Bapak. Bapak menghela napas.

 

"Kamu memang keras kepala. Persis ibumu." Kepala Bapak menoleh ke arah pintu belakang yang terbuka. 

 

"Ibu sedang mengaji kalau siang begini, Pak." Aku mengingatkan Bapak. Lelaki berambut keriting sepertiku itu mengangguk-angguk. Ia menggoyang-goyang joran.

 

Memancing adalah salah satu aktivitas favorit pilihan Bapak saat menemuiku. "Biar kamu ingat untuk selalu berlatih sabar. Bapak juga tidak punya kesempatan memancing waktu hidup dulu." Itu alasan Bapak yang meninggal sepuluh tahun lalu.

 

"Selesaikan baca buku tentang Allah itu, juga buku karangan Jeffrey Lang. Itu tidak butuh laptop, kan? Syarah Al Hikam tuntaskan pula, Awaken the Giant dan Atomic Habits setelah itu, baru Dunia Sophie. Dahulukan yang lebih penting dan mendesak, sesuai kebutuhanmu." 


Aku menghela napas mendengar saran itu. Meski aku suka buku dan senang membaca, akhir-akhir ini rasa malas menang dan membuatku sekilas-sekilas saja membaca buku usulan Bapak. Buku hiburan dan ringan seperti novel lebih menarik.


Lima buku yang disebut awal oleh Bapak tidak akan jadi masalah tapi Dunia Sophie yang setebal bantal itu? Bentuknya memang novel tapi bahasannya tidak seringan Harry Porter. 


Ide bagus memang menjadikan filsafat dalam bentuk novel. Tapi Harry Porter lebih menghibur, kan? Pejuang kebenaran yang berani menghadapi kejahatan yang mematikan. 


Sekarang terdengar deheman Bapak dan pandangan matanya yang lembut namun tajam.

 

"Siapa yang bilang mau membuat sejarah baru di keluarga, merasa tidak puas dengan kelakuan para pendahulu?" Perkataannya mengingatkan, membuatku salah tingkah dan malu.

 

"Maaf. Aku bodoh sekali ternyata." Pengakuan itu pelan meluncur dari mulutku.

 

"Nduk, kamu sudah menangkap kesimpulannya, kan? Bahwa tidak ada yang lebih baik. Karena semua adalah pemberian dan pengaturan Allah. Allah menguji kita dengan pemberian-Nya." Bapak berkata jelas dan tegas.

 

"Guru ngajimu sudah bilang, yang terpenting adalah berbuat baik. Kamu juga sudah lihat episode akhir film Boys over Flower itu.” Bapak ternyata mengetahui hobi baruku, melihat drakor.


“Saat melihat ada benda yang terpanggang dalam tungku,  Ga Eul merasa benda dalam panggangan bahagia. Karena ia merasa ketika benda itu bertahan dan menjadi baik, ia akan disayangi.” Bapak kembali melirik. 


“Siapa yang pernah bermimpi menjadi hamba kesayangan?"Aku memeluk lutut dan menjaga keseimbangan agar tidak jatuh ke kolam.

 

"Aku sekarang hanya ingin menjadi diri sendiri, Pak." Pelan aku menjawab. 


Sejenak teringat aku akan kisah para nabi, para sahabat dengan segala perjuangan dan pengorbanannya. Jauh, jauh sekali antaraku dengan mereka. Aku tidak mau berada dalam panggangan meski bisa jadi kondisiku sekarang sebelas dua belas dengan kondisi ‘terpanggang’.


“Itu penghapus dosa-dosamu, Nduk.” Bapak berkata pelan menanggapi isi hatiku. Aku ingin menangis dan menyerah. 


Aneh, beberapa saat sensasi hangat menyapu hati, apa yang kuucapkan kemudian berbeda dengan apa yang kurasa.

 

"Aku belajar puas dengan diri sendiri," bisikku masih sisakan kesal itu, kebelumterimaan akan kondisi yang harus dihadapi meski hati lebih tenang sekarang.

 

"Usaha bagus. Semua butuh proses dan waktu. Kalau sekarang kau berjanji untuk menjadikan buku yang Bapak sebut tadi sebagai daftar bacaanmu tahun ini atau enam bulan ini, pertemuan kita sekarang Bapak rasa cukup." Lelaki sepuh itu berdiri, menarik joran. Ia menemukan cacingnya sudah raib.

 

"Ah, rupanya masih ada ikan di kolam. Masih ada harapan." Bapak tersenyum padaku.

 

"Yu, Ayu!" Tiba-tiba Ibu memanggil. Apakah itu berarti Ibu sudah selesai Dhuha dan mengaji? Beliau pasti telah kembali sibuk dengan aktivitas rumah dan teringat aku, putri yang menemaninya di rumah peninggalan Bapak.


Aku sempat melihat senyum Bapak sebelum ia beranjak dari tepi kolam.


“Ingat, Bapak mengawasimu dari tempat yang tidak kau tahu. Ah, dari tempat yang ilmumu belum nyampe.” Kedipan mata Bapak seolah mengejek, mengakhiri pertemuan Dhuha itu.


Dan jika Kami berikan rahmat Kami kepada manusia, kemudian (rahmat itu) Kami cabut kembali, pastilah dia menjadi putus asa dan tidak berterima kasih. 


Dan jika Kami berikan kebahagiaan kepadanya setelah ditimpa bencana yang menimpanya, niscaya dia akan berkata, “Telah hilang bencana itu dariku.” 


Sesungguhnya dia (merasa) sangat gembira dan bangga, kecuali orang-orang yang sabar dan mengerjakan kebajikan, mereka memperoleh ampunan dan pahala yang besar. 


Yogya, Rabu, 23 Februari 2022 pkl 09.23 WIB


Gambar oleh cocoparisienne dari Pixabay, https://pixabay.com/id/photos/pria-manusia-orang-laut-matahari-888591/.


TQS Huud (11): 9-11

 

 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

16 Quotes tentang Yakin

15 Quote tentang TENANG

17 Quote tentang MIMPI